Home » » “Kalau Bukan Sistem Noken, Papua Bukan Bagian dari NKRI”

“Kalau Bukan Sistem Noken, Papua Bukan Bagian dari NKRI”

Written By Unknown on Senin, 10 Maret 2014 | 11.32

Willem Frans AnsanayJAYAPURA - Adanya pro kontra mengenai sistem Pemilu di Papua, khususnya Sistem Noken (sistem perwalian) mendapat komentar dari Pengamat Politik Papua dan Nasional, yang juga Divisi Pembinaan Anggota DPP Partai Demokrat, Willem Frans Ansanay, SH, M.Si. Ia mengatakan sistim noken di Papua tidak perlu lagi dipolemikkan,  tetapi itu perlu dilihat sebagai suatu kearifan lokal.
 Dikatakan,  Pemahaman tentang Papua itu harus utuh, tidak hanya saja dipahami dari sisi hukum, sementara dari sisi hukum sendiri dalam prosesnya mempertimbangkan filosofis hukum dan aspek-aspek lain, diantaranya aspek sosial, cultur masyarakat yang ada di wilayah tertentu seperti Pegunungan Tengah Papua.
 
Menurutnya, apa yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya tentang Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 di Papua dan Pemilukada Bupati, Pemilukada Gubernur Papua yang baru berakhir 2013 lalu,  mestinya direspon secara positif oleh KPU Pusat, KPU Papua, DKPP dan Bawaslu RI, bukannya membuka wacana dan tolak tarik kepentingan yang berlebihan, sehingga justru menimbulkan kekisruan di dalam pesta demokrasi yang akan berlangsung di Papua.

Perlu dipahami, demokrasi sistem Noken ini merupakan suatu sistem budaya masyarakat Papua yang sudah berlangsung berabad-abad, karena itu perlu kita ingat bahwa manakala proses kembalinya Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), itu sistem Noken yang dipakai dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau sistem perwalian/perwakilan yang adalah sesuai dengan budaya di Papua, dimana seseorang yang dianggap sebagai Bigmen (pemimpin besar, kepala suku, orang yang ditokohkan dan istilah lainnya) itu yang didengar dan diikuti perintahnya oleh rakyatnya.

 “Ini pun berkembang dari pergeseran pemahaman kepala suku/Ondoafi yang perintahnya diikuti. Dan ini tidak bisa dianggap keliru dan salah di Tanah Papua oleh saudara-saudara kita yang peradaban budayanya berbeda dengan kita di Papua,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Minggu, (2/3).
 
Ditegaskannya, ‘Anda bisa bikin di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan lain sebagainya demokrasi yang Anda pahami, tetapi di Papua tidak bisa’, karena pada saat kita bicara sistem Noken ini adalah sesuatu yang keliru, kita telah menurunkan sebuah prosesi hukum, sebab Papua ini Papua ini dianggap kembali ke NKRI karena adanya sistem Noken/perwalian suara dalam Pepera itu, yakni satu orang mewaliki 1025 orang, bukan one men one vote, yang hingga hari ini Indonesia mengklaim Papua bagian dari NKRI, karena sistem perwakilan ini.

 Dengan demikian, jika sistem Noken ini dipersoalan dan digugat untuk tidak digunakan dalam Pemilu atau dianggap tidak sah, maka orang Papua dengan gampang saja menyatakan bahwa berarti Papua bergabungnya ke NKRI juga tidak sah. Jadi pilih sekarang mau laksanakan demokrasi atau mau berpolemik dengan sistem pemilu yang hanya kepentingan orang perorang dengan memanfaatkan kekuasaan untuk melunturkan semangat demokrasi Papua dalam NKRI.
  Untuk itu, hendaklah jangan berbicara kalau tidak memahami kondisi cultur/budaya Papua dengan baik dan benar. Pasalnya, budaya Papua ini sangat berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia ini, yang fisiknya berbeda dan lainnya.
 
Oleh sebab itu, kalau hari ini Papua adalah bagian dari NKRI, dirinya ingin menandaskan bahwa sistem Noken ini merupakan semangat demokrasi bahwa Papua dalam sistem perwakilan telah dinyatakan dengan sah, (bahkan sampai di PBB) ialah bagian dari Indonesia. Maka dari itu, sistem Noken ini tidak perlu dipersoalkan, karena sistem Noken itu demokrasinya Papua.
 
“Jangan memancing di air yang keruh lah, jadi marilah semua, termasuk para politikus yang bermain di belakan layar untuk mempersoalkan sistem Noken, harus memahami benar mengenai sistem Noken ini, jangan karena kepentingan pribadi lalu mengorbankan budaya masyarakat Papua yang sudah dilaksanakan berabad-abad lalu,” tandasnya.

“Jangan karena kepentingan satu dua orang, kepentingan partai politik untuk pemenangan dan sebagainya lalu melunturkan budaya Papua. Kita berbeda-beda dalam ras, buda, dan warna tetapi kita satu dalam NKRI. Kalaupun di Papua prosesi demokrasi dengan perwakilan itu sama dengan sistem Noken, itulah cultur/budaya Papua,” sambungnya.

 Lanjutnya, jika ada orang yang berbicara sah dan tidaknya hal ini, putusan MK itu berbicara tentang proses pemilihan, bukan berbicara mengenai keputusannya yang kemudian hanya itu untuk Pemilukada, tetapi untuk keseluruhan proses Pemilu. Jadi janganlah diperdebatkan.

 Pahamilah dulu kondisi ini, karena kita ingin Papua dibangun dengan baik dalam negara ini orang Papua sejahtera, orang Papua mencintai negara ini dan menjadi bangga bahwa dirinya (rakyat Papua,red) adalah anak bangsa Indonesia walaupun hitam dan keriting. Sama seperti Negro Amerika, China Amerika yang bangga sebagai orang Amerika, meski hitam keriting, mata sipit dan putih kulit dan keturunan Negro dan China. Maka harusnya Papua yang berbeda dalam NKRI ini harus kita semua junjung dan perlihara, bukan lagi menggeser ini dan munculah pembenaran-pembenaran bahwa integrasi Papua tidak sah, karena sistem perwakilan/sistem Noken.

“Jangan karena kepentingan Pemilu ini merusak proses Pepera yang terjadi di Papua. Saya mengajak semua pihak untuk menurunkan sikap-sikap legaliter (tidak terpuji)  untuk merusak tatanan demokrasi di Papua. Sistem Pemilu di Papua harus dihargai, karena itu harkat dan martabat orang Papua dalam NKRI. Jika dulu Pepera gunakan sistem One Men One Vote, maka hari ini Papua bukan bagian dari NKRI. Jadi Camkamlah itu,” pungkasnya.(Nls/don/L03)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KOTEKA NEWS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger