Home » » Pemekaran Zonder Kesejahteraan

Pemekaran Zonder Kesejahteraan

Written By Unknown on Senin, 14 Juli 2014 | 13.11

Rupanya Presiden sudah gerah oleh kondisi di Papua. Kewenangan luas bagi rakyat Papua untuk membangun daerah lewat Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ternyata tak membuat daerah itu maju dan sejahtera. “Pemekaran” (pembentukan daerah otonom baru) sejak 2002 pun tak tampak hasilnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lantas memerintahkan Kementerian Dalam Negeri mengaudit pelaksanaan otonomi khusus. Dalam pidato pengantar rapat kabinet 29 Juli lalu, Presiden mengatakan audit diperlukan agar tak terjadi situasi saling menyalahkan. “Supaya tak menjadi bulan-bulanan LSM dalam dan luar negeri,” ujar Presiden Yudhoyono di hadapan para menteri.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun membentuk tim khusus. Menurut dia, pelaksanaan otonomi khusus belum pernah diaudit.Padahal Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, yang disahkan pada 23 Oktober 2001,mengamanatkan evaluasi pertama dilakukan setelah tiga tahun aturan itu disahkan. Kini Papua memiliki 28 kabupaten dan 1 kota madya dengan 214 kecamatan.

Sedangkan Provinsi Papua Barat, pecahan Papua, terdiri atas 10 kabupaten dan 1 kota madya. Kekhawatiran Presiden bukan isapan jempol. Tengoklah pengalaman dua guru kontrak dari Jakarta yang baru bertugas enam bulan di Sekolah Dasar Inpres Hoeya, Distrik (Kecamatan) Jila, Kabupaten Mimika. Salah satunya bernama Bambang Sutomo. Selama dua hari mereka berjalan kaki melewati enam puncak gunung dan belantara menuju Ibu Kota Jila. Tujuannya mencapai landasan pesawat perintis. Dari Jila mereka terbang ke Timika, ibu kota Mimika, untuk mencari bahan makanan.

Tak ada pilihan lain. Menginap satu malam di tengah hutan dan melahap betatas (ubi jalar) mentah.“Bahan makanan sudah habis dan harus menyiapkan bahan ujian untuk anak-anak, sehingga kami harus cepat-cepat ke Timika,”ucap Bambang. Kampung Hoeya berada di puncak gunung. Hanya bisa dijangkau dengan helikopter. Namun helikopter Airfast yang mendarat di sana milik PT Freeport Indonesia bukan untuk guru-guru yang dikontrak oleh pemerintah provinsi. Hoeya hanya satu dari banyak kampung yang tetap terisolasi meski sudah digabung menjadi satu kecamatan, mengikuti pemekaran Kabupaten Mimika.

Di kampung-kampung itu terdapat bangunan puskesmas dari kayu, tapi lebih mirip rumah hantu.Sejumlah kaca jendela pecah. “Ada anak yang tangannya patah dan harus diusung ke puskesmas terdekat di Distrik Tembagapura, jalan kaki selama tiga hari.”Begitu pula dengan ibu-ibu hamil yang akan melahirkan di Tembagapura. Sebagian dari mereka melahirkan di tengah rimba. Sebagian lagi meninggal karena kelelahan. Pelayanan kesehatan dan pemerintahan di Ibu Kota Jila mandek karena aparaturnya memilih tinggal di Kota Timika.Di Kota Timika setali tiga uang. Sejak dimekarkan menjadi kabupaten, Mimika belum memiliki infrastruktur yang memadai.

Setelah 10 tahun menjadi kabupaten, baru pada 2009 kabupaten seluas 20.039 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 131 ribu ini memiliki rumah sakit umum daerah dengan fasilitas dan keterampilan tenaga medis seadanya. Perawat prianya pernah ditemukan mabuk sehingga pasien meninggal. Hingga Juli 2010, dinas-dinas belum memiliki kantor permanen. Dinas terpaksa mengontrak rumah warga. Akses memperoleh bahan bakar minyak, listrik, dan telepon sangat sulit. Padahal nilai anggaran daerahnya Rp 1,4 triliun.

Berdasarkan penelitian dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, sepanjang 2007-2008, pascapemekaran kondisi masyarakat stagnan miskin. Bahkan empat kabupaten baru masuk peringkat terbawah dalam indeks pembangunan manusia pada 2007, yakni Pegunungan Bintang,Yahukimo, Boven Digoel, dan Mappi.“Tak ditemukan bukti bahwa pemekaran memfasilitasi kesejahteraan,”ucapnya.

Menurut dia,Kementerian Dalam Negeri sudah mengevaluasi daerahdaerah baru itu. Tapi entah mengapa belum diumumkan hasilnya sejak direncanakan pada awal 2009. Ia melihat faktor utama penyebab kemiskinan adalah sumber daya manusia yang rendah. Padahal wilayah Papua sangat luas meski sudah berusaha dikecilkan dengan program pemekaran.

Contohnya Supiori, kabupaten baru yang beberapa tahun lalu hanya dihuni sekitar 30 ribu orang.Dengan SDM yang terbatas, Supiori memperoleh anggaran terbanyak. Kualitas yang rendah membuat putra-putra daerah kalah bersaing dalam memperebutkan posisi-posisi penting di pemerintahan.Pendatang menjadi ancaman, dan masyarakat asli Papua tersingkir ke pedalaman.

Direktur Penataan Daerah dan Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono memastikan parameter evaluasi menyeluruh otonomi khusus sedang dikaji dalam rapat koordinasi tingkat pusat. Rencananya, evaluasi akan digelar triwulan kedua tahun depan.Tapi bukan berarti pemekaran di Papua dihentikan.

Gamawan tak membantah akan terjadi pemekaran lagi.Tapi mekanismenya akan dibuka melalui pemerintah pusat. Berbeda dengan selama ini, yang dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.“Pertimbangan pemekaran tak hanya luas wilayah, tapi juga potensinya,”katanya medio Juli silam. ●


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KOTEKA NEWS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger