Home » » Air Mata di Malam Hari

Air Mata di Malam Hari

Written By Unknown on Senin, 24 Februari 2014 | 04.25

        
Add caption Ilustrasi. Ist.

Sungguh malam ini semakin mencekam. Gelap malam ini membawa sejuta pikiran, seakan tidak ada jalan menuju kebebasan di Jagat ini. Aku hanya menggengam seberkas kertas yang dijilid dengan rapi.  Judul tulisannya, Hidup dan Mati.

Malam itu, ruangan menjadi hampa tanpa penghuni. Hanya terlihat tempat tidur. Tiada teman yang menemaniku. Kubuka catatan yang dijilid rapi di tanganku, lembar per lembar. Ini goresan mengenai kehancuran bangsaku, Bangsa Papua.

Semua yang dituliskan di sana: Pembunuhan, pemenjarahan, pemerkosaan, marginalisasi, ketidadilan. Semua terjadi di atas tanah airku, tanah titisan Sang Khalik, warisan leluhur Papua.

Malam itu kuingat ingat kembali cerita kakek. Ketika kala itu, aku masih SMP. Hanya ini yang aku ingat.

"Kita sudah merdeka 1 Desember 1961 sebagai satu negara, tetapi Indonesia dengan manipulasi sejarahnya menganeksasi Papua ke dalam RI tanggal 1 Desember 1963. Itulah awal penderitaan orang Papua. Setelah sebelumnya melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, yang pelaksanaannya cacat moral dan hukum."

"Itulah mengapa kakek ketika itu bersikukuh menolak hasil PEPERA 1969 dan menginginkan Papua Merdeka."

"Semua orang tua di sini, yang ada di sini tidak sepakat dengan hasil PEPERA. Kami menolak Iyowoya(1), akhirnya kami melakukan perlawanan ko dengar, 69 Yape(2). Begitu sudah."

Begitu cerita kakek yang aku ingat sampai saat ini. Aku memang belum sempat mendengar banyak dari ayah juga tentang ini. Ayah keburu menghilang. Dan yang tersisa kini adalah cerita ibu tentang ayah.

"Ko pu bapak juga meninggal karena berjuang untuk penentuan nasib sendiri. Dia dikejar oleh TNI dan Polisi sampai dorang bunuh ko punya bapak. Waktu ko kecil, kita hidup berpindah-pindah karena saya tidak mau kamu anak-anak juga menjadi korban tentara Indonesia."

Ini cerita yang paling menyiksa batin yang aku pernah dengar.

Sungguh, malam ini, saya ingat semua yang pernah diceritakan kepadaku oleh kakek dan ibu saya.

Saya merasa sedang mengingat sebuah ingatan penderitaan. Ya, ingatan akan derita penjajahan. Dan di tanganku kini, malam ini, ada catatan itu yang sama, yang dialami sesama sebangsaku di lain tempat  yang telah dituliskan oleh penulis Papua.

Malam ini, akh, rasanya aku ingin menghancurkan meja belajarku di depan. Darah mendidih. Tetapi apalah daya. Titik bening yang keluar ini, akh. Aku tak ada kata lagi.

Namun saya sadari, titik-titik air mata ini tak akan menyelesaikan masalah. Malam itu hanya ada air mata saja. Rasanya tak ingin tidur.

Perlahan kutinggalkan meja belajar. Berbaring di tempat tidur, aku malah merasa tidak ingin tidur.

"Tuhan, apa benar, Kau ciptakan bangsa Papua hanya untuk menderita, disiksa, dibunuh?"

Kakek dahulu telah meneruskan garis ini. Ayahku mati di garis ini. Kini aku .

"Akankah anakku akan bernasib sama seperti yang kakek, ayah, ibu dan aku alami kini?"

"Tidak!"

Aku ingin anakku harus menikmati kehidupan alam yang diberikan Tuhan kepada kita orang Papua.

Kemudian secara berurutan ribuan pertanyaan menghampiri anganku, dan dengan sadar, kujawab apa adanya, hingga aku hanyut dalamnya. Aku tak sadar kapan kelopak mataku terkatup kembali, dan aku terbuai di alam mimpi. TAMAT.

Oleh, Agustinus Dogomo


1.    Iyowoya: Pendatang yang ke Papua
2.    69 Yape: Perang tahun 1969, di Wilayah Mee yang menolak Penentuan Pendapat Rakyat Papua    (PEPERA) 1969.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KOTEKA NEWS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger