Home » » Isu Papua dan Diplomasi

Isu Papua dan Diplomasi

Written By Unknown on Kamis, 26 Juni 2014 | 12.15


Amirudin-alrahab-revisi-webGerakan Benny Wenda menjadikan tempat tinggalnya sebagai House of Free West Papua di Oxford, awal Mei lalu, sontak menjadi perhatian publik domestik Indonesia. Seolah pemerintah Inggris telah berpaling dari sikap asali-nya pada Indonesia dengan memberi ruang kepada Benny Wenda. Betulkah demikian?
Bulan Maret 2013, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) bertemu dengan Menlu dan beberapa pejabat Kemlu Belanda dan anggota Parlemen Belanda di Den Haag, serta bertemu pejabat Kemlu Inggris dan beberapa anggota Parlemen Ingris di London. Sebelumnya mereka bertemu dengan Menlu dan anggota Parlemen Selandia Baru di Wellington. Beberapa Dubes negara sahabat juga menemui Kepala UP4B di Jakarta.
Pada sidang Komite HAM tentang hak-hak  SIPOL, Juli 2013 dan Sidang Komite HAM tentang hak-hak EKOSOB, April 2014, di Jenewa, Komite dalam melihat permasalahan HAM di Indonesia, memberikan perhatian tersendiri mengenai Papua.
Jika sikap pemerintah dan anggota parlemen Belanda, Inggris dan Selandia Baru itu, serta sikap para Dubes negara sahabat di Jakarta  dan Komite HAM PBB bisa digunakan untuk tolok ukur penakar sikap masyarakat internasional terhadap Papua, maka kedaulatan Indonesia di Papua tidak tergoyahkan. Meski demikian, ada beberapa isu penting yang bisa digarisbawahi.
Isu-isu penting itu yang menjadi diskusi menarik dalam Komite HAM PBB tadi. Delegasi Pemerintah Indonesia berupaya menjawab dan memberikan pandangan mengenai kondisi terkini Papua. Tetapi info yang masuk dari kalangan LSM ke Komite, seperti lebih dominan ketimbang dari unsur-unsur diplomasi resmi.
Isu pertama ialah masalah perlindungan terhadap lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup yang menjadi sorotan utama ialah proyek raksasa Merauke Integrate Food Energy Estate (MIFEE) yang mencakup 1,2 juta ha luas tanah. Mengenai proyek ini komunitas internasional tampak lebih banyak menerima informasi dari LSM internasional katimbang institusi pemerintah. Banyak LSM Internasional pemerhati lingkungan beropini bahwa proyek ini lapar tanah ini. LSM pemerhati HAM, seperti Fransiscan Internasional, HRW dan Amnesty Internasional, bahkan mengopinikan ada indikasi intimidasi dan perebutan tanah secara paksa oleh investor yang didukung aparat di lahan MIFEE.
Opini-opini yang terlanjur disebar LSM ini sepertinya belum bisa dimbangi oleh unsur pemerintah terkait. Menurut hemat kami, itu terjadi akibat belum ada informasi yang matang mengenai program MIFEE itu secara terintegrasi. Masing-masing instansi pemerintah juga belum mengetahui dan memahami secara sungguh-sunguh kompleksitas dan realitas dari program MIFEE. Sehingga, mereka tidak mampu menyajikan data, fakta dan informasi seputar program MIFEE secara cepat dan akurat.
Dalam perspektif komunitas internasional, Program MIFEE seluas itu, seolah akan dibangun sekali jadi dengan membuka lahan langsung seluas-luasnya. Ditilik dari sisi perlindungan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, kesan itu tentu menakutkan. Apalagi demi keberlanjutan Papua sebagai paru-paru dunia dalam menghadapi fenomena global warming.
Isu MIFEE dan rencana investasi besar lainnya, membawa komunitas internasional peduli pada isu kedua, yaitu perlindungan atas tanah ulayat di Papua. Masyarakat internasional merasa khawatir atas isu perampasan tanah (land grabbing) yang begitu diopinikan oleh LSM internasional dengan frame pelanggaran Hak Asasi Manusia. Bahkan laporan Komnas HAM Indonesia saat ini juga berada dalam frame arus pemikiran itu.
Di mata komunitas internasional, masyarakat asli Papua dipandang sebagai masyarakat yang begitu tergantung pada tanah. Sementara aliran investasi yang diharapkan masuk ke Papua di bidang pertanian, pertambangan mineral dan energi (Migas) yang nota bene lapar tanah, belum diimbangi dengan pembuatan instrumen hukum yang mampu melindungi hak masyarakat asli Papua atas tanah ulayatnya. Tentu yang dikhawatirkan adalah kemungkinan tersingkirnya orang Papua akibat penetrasi modal yang akan begitu masif dalam kerangka program MP3EI.
Isu ketiga yang menjadi perhatian komunitas internasional adalah kebebasan berbicara dan ekspresi. Isu ini seperti bola salju di masyarakat internasional. Baru-baru ini LSM Tapol yang berdomisili di London mengangkat masalah ini. Sayang belum argumentasi dan penjelasan lugas dari instansi pemerintah Kedutaan-kedutaan RI seperti miskin informasi faktual dan terkini mengenai perkembangan masalah ini.
Komunitas Internasional berdasarkan informasi dari kalangan LSM melihat adanya tahanan politik di Papua akibat dari ketiadaan kebebasan berekspresi dan berbicara di Papua. Di samping itu tahanan politik juga dilihat sebagai bentuk dari belum berjalannya fair trial (pengadilan yang bebas).
Pada hal saat ini, sejalan dengan demokratisasi dan reformasi sistem politik Indonesia, kebebasan berekspresi dan berbicara melalui lisan dan tulisan mekar di Papua. Demonstrasi mengusung segala macam pendapat, bisa terjadi setiap minggu. Mulai dari referendum, sampai merdeka, dengan mengibarkan bendera. Di sisi lain pengadilan terbuka untuk umum dengan kesaksian dan saksi, yang juga bebas menyampaikan pandangannya.
Hulu dari tiga isu di atas adalah isu keempat, yaitu, belum leluasanya jurnalis asing meliput langsung di Papua. Terbatasnya ruang gerak jurnalis media asing ke Papua, menjadi senjata pengkritik Indonesia. Hal itu tampak dari opini para anggota Parlemen Belanda, Inggris dan Selandia Baru. Implikasi minimnya jurnalis asing masuk ke Papua, adalah membubungnya kecurigaan komunitas internasional seolah Indonesia menyembunyikan sesuatu di Papua.
Bagaimana Merespon
Kedaulatan Indonesia atas Papua ditentukan oleh komitmen dan konsistensi kerja aparatur pemerintah Indonesia sendiri. Bukan oleh opini-opini pihak asing. Karena itu instansi pemerintah terkait perlu memperhatikan dan berbuat nyata atas empat hal yang disorot masyarakat internasional di Papua.
Untuk meminimalisir dampak buruk program MIFEE pada lingkungan, Kemenko Perekonomian, Kemen KLH, dan Kementan bersama Pemprov Papua perlu membuat pusat informasi MIFEE, agar perkembangan dan sikap masyarakat di areal MIFEE bisa diketahui dunia secara cepat dan tepat. Hal ini seiring dengan upaya menangkal  isu perampasan tanah ulayat secara intimidatif di seluruh Papua. Instrumen hukum yang melindungi hak ulayat atas tanah dari serbuan investasi perlu dipertegas.
Pemerintah, khususnya Kemenkopolhukam, Kemdagri dan KemenkumHAM sudah saatnya berani mengkapitalisasi lonjakan partisipasi politik yang terjadi di Papua. Bersama itu juga mesti bisa menunjukan kinerja aparatur penegak hukum mampu profesional dan menghargai HAM. Pemilukada Gubernur dan Pileg 2014 yang berjalan damai bisa dijadikan modal. Kebebasan media massa dan keterbukaan ruang publik dalam menyatakan pendapat, harus diekspos ke jurnalis asing dan fora internasional lain.
Sejalan dengan itu, untuk isu masuknya jurnalis asing ke Papua, mungkin kini tiba saat menempuh politik pintu terbuka dengan syarat-syarat tertentu. Contoh unsur-unsur pemerintah, khususnya Kemlu, bisa membuat program tur bagi para jurnalis asing secara cermat dengan menyajikan data dan informasi yang akurat dan cepat. Juga perlu dijelaskan mengenai prosedur masuk ke Papua, demi menjamin keyamanan kerja para jurnalis asing itu sendiri.
Intinya diperlukan penanganan komprehensif dan terkoordinasi secara baik setiap langkah pemerintah dalam bidang sosial-politik dan ekonomi-budaya di Papua. Jika beberapa saran itu ditempuh, para Duta Besar kita di beberapa negara sahabat yang ditempati oleh gerakan kelompok-kelompok Papua yang didukung beberapa LSM internasional, niscaya bisa secara tepat dan akurat menangkal semua isu tersebut.
Dengan kata lain para diplomat kita bisa dibekali dengan data dan informasi yang matang dan akurat. Sebab diplomasi yang mumpuni hanya bisa terjadi jika disokong oleh data-data dan orientasi dari dalam negeri yang kuat dan akurat. Adakah Capres atau Presiden baru mau dan bisa memperhatikan isu Papua di level internasional itu dengan benar-benar memperbaiki kondisi internal? Semoga.
(Amiruddin al-Rahab, Juru Bicara  dan Asisten Ahli Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat - UP4B, kini berdomisili di Jayapura)

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KOTEKA NEWS - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger