Gerakan Benny Wenda menjadikan tempat tinggalnya sebagai House of Free West Papua
di Oxford, awal Mei lalu, sontak menjadi perhatian publik domestik
Indonesia. Seolah pemerintah Inggris telah berpaling dari sikap
asali-nya pada Indonesia dengan memberi ruang kepada Benny Wenda.
Betulkah demikian?
Bulan Maret
2013, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)
bertemu dengan Menlu dan beberapa pejabat Kemlu Belanda dan anggota
Parlemen Belanda di Den Haag, serta bertemu pejabat Kemlu Inggris dan
beberapa anggota Parlemen Ingris di London. Sebelumnya mereka bertemu
dengan Menlu dan anggota Parlemen Selandia Baru di Wellington. Beberapa
Dubes negara sahabat juga menemui Kepala UP4B di Jakarta.
Pada sidang
Komite HAM tentang hak-hak SIPOL, Juli 2013 dan Sidang Komite HAM
tentang hak-hak EKOSOB, April 2014, di Jenewa, Komite dalam melihat
permasalahan HAM di Indonesia, memberikan perhatian tersendiri mengenai
Papua.
Jika sikap
pemerintah dan anggota parlemen Belanda, Inggris dan Selandia Baru itu,
serta sikap para Dubes negara sahabat di Jakarta dan Komite HAM PBB
bisa digunakan untuk tolok ukur penakar sikap masyarakat internasional
terhadap Papua, maka kedaulatan Indonesia di Papua tidak tergoyahkan.
Meski demikian, ada beberapa isu penting yang bisa digarisbawahi.
Isu-isu
penting itu yang menjadi diskusi menarik dalam Komite HAM PBB tadi.
Delegasi Pemerintah Indonesia berupaya menjawab dan memberikan pandangan
mengenai kondisi terkini Papua. Tetapi info yang masuk dari kalangan
LSM ke Komite, seperti lebih dominan ketimbang dari unsur-unsur
diplomasi resmi.
Isu pertama
ialah masalah perlindungan terhadap lingkungan hidup. Masalah lingkungan
hidup yang menjadi sorotan utama ialah proyek raksasa Merauke Integrate
Food Energy Estate (MIFEE) yang mencakup 1,2 juta ha luas tanah.
Mengenai proyek ini komunitas internasional tampak lebih banyak menerima
informasi dari LSM internasional katimbang institusi pemerintah. Banyak
LSM Internasional pemerhati lingkungan beropini bahwa proyek ini lapar
tanah ini. LSM pemerhati HAM, seperti Fransiscan Internasional, HRW dan
Amnesty Internasional, bahkan mengopinikan ada indikasi intimidasi dan
perebutan tanah secara paksa oleh investor yang didukung aparat di lahan
MIFEE.
Opini-opini
yang terlanjur disebar LSM ini sepertinya belum bisa dimbangi oleh unsur
pemerintah terkait. Menurut hemat kami, itu terjadi akibat belum ada
informasi yang matang mengenai program MIFEE itu secara terintegrasi.
Masing-masing instansi pemerintah juga belum mengetahui dan memahami
secara sungguh-sunguh kompleksitas dan realitas dari program MIFEE.
Sehingga, mereka tidak mampu menyajikan data, fakta dan informasi
seputar program MIFEE secara cepat dan akurat.
Dalam
perspektif komunitas internasional, Program MIFEE seluas itu, seolah
akan dibangun sekali jadi dengan membuka lahan langsung seluas-luasnya.
Ditilik dari sisi perlindungan lingkungan hidup dan keanekaragaman
hayati, kesan itu tentu menakutkan. Apalagi demi keberlanjutan Papua
sebagai paru-paru dunia dalam menghadapi fenomena global warming.
Isu MIFEE dan
rencana investasi besar lainnya, membawa komunitas internasional peduli
pada isu kedua, yaitu perlindungan atas tanah ulayat di Papua.
Masyarakat internasional merasa khawatir atas isu perampasan tanah (land grabbing) yang begitu diopinikan oleh LSM internasional dengan frame pelanggaran Hak Asasi Manusia. Bahkan laporan Komnas HAM Indonesia saat ini juga berada dalam frame arus pemikiran itu.
Di mata
komunitas internasional, masyarakat asli Papua dipandang sebagai
masyarakat yang begitu tergantung pada tanah. Sementara aliran investasi
yang diharapkan masuk ke Papua di bidang pertanian, pertambangan
mineral dan energi (Migas) yang nota bene lapar tanah, belum diimbangi
dengan pembuatan instrumen hukum yang mampu melindungi hak masyarakat
asli Papua atas tanah ulayatnya. Tentu yang dikhawatirkan adalah
kemungkinan tersingkirnya orang Papua akibat penetrasi modal yang akan
begitu masif dalam kerangka program MP3EI.
Isu ketiga
yang menjadi perhatian komunitas internasional adalah kebebasan
berbicara dan ekspresi. Isu ini seperti bola salju di masyarakat
internasional. Baru-baru ini LSM Tapol yang berdomisili di
London mengangkat masalah ini. Sayang belum argumentasi dan penjelasan
lugas dari instansi pemerintah Kedutaan-kedutaan RI seperti miskin
informasi faktual dan terkini mengenai perkembangan masalah ini.
Komunitas
Internasional berdasarkan informasi dari kalangan LSM melihat adanya
tahanan politik di Papua akibat dari ketiadaan kebebasan berekspresi dan
berbicara di Papua. Di samping itu tahanan politik juga dilihat sebagai
bentuk dari belum berjalannya fair trial (pengadilan yang bebas).
Pada hal saat
ini, sejalan dengan demokratisasi dan reformasi sistem politik
Indonesia, kebebasan berekspresi dan berbicara melalui lisan dan tulisan
mekar di Papua. Demonstrasi mengusung segala macam pendapat, bisa
terjadi setiap minggu. Mulai dari referendum, sampai merdeka, dengan
mengibarkan bendera. Di sisi lain pengadilan terbuka untuk umum dengan
kesaksian dan saksi, yang juga bebas menyampaikan pandangannya.
Hulu dari
tiga isu di atas adalah isu keempat, yaitu, belum leluasanya jurnalis
asing meliput langsung di Papua. Terbatasnya ruang gerak jurnalis media
asing ke Papua, menjadi senjata pengkritik Indonesia. Hal itu tampak
dari opini para anggota Parlemen Belanda, Inggris dan Selandia Baru.
Implikasi minimnya jurnalis asing masuk ke Papua, adalah membubungnya
kecurigaan komunitas internasional seolah Indonesia menyembunyikan
sesuatu di Papua.
Bagaimana Merespon
Kedaulatan
Indonesia atas Papua ditentukan oleh komitmen dan konsistensi kerja
aparatur pemerintah Indonesia sendiri. Bukan oleh opini-opini pihak
asing. Karena itu instansi pemerintah terkait perlu memperhatikan dan
berbuat nyata atas empat hal yang disorot masyarakat internasional di
Papua.
Untuk
meminimalisir dampak buruk program MIFEE pada lingkungan, Kemenko
Perekonomian, Kemen KLH, dan Kementan bersama Pemprov Papua perlu
membuat pusat informasi MIFEE, agar perkembangan dan sikap masyarakat di
areal MIFEE bisa diketahui dunia secara cepat dan tepat. Hal ini
seiring dengan upaya menangkal isu perampasan tanah ulayat secara
intimidatif di seluruh Papua. Instrumen hukum yang melindungi hak ulayat
atas tanah dari serbuan investasi perlu dipertegas.
Pemerintah,
khususnya Kemenkopolhukam, Kemdagri dan KemenkumHAM sudah saatnya berani
mengkapitalisasi lonjakan partisipasi politik yang terjadi di Papua.
Bersama itu juga mesti bisa menunjukan kinerja aparatur penegak hukum
mampu profesional dan menghargai HAM. Pemilukada Gubernur dan Pileg 2014
yang berjalan damai bisa dijadikan modal. Kebebasan media massa dan
keterbukaan ruang publik dalam menyatakan pendapat, harus diekspos ke
jurnalis asing dan fora internasional lain.
Sejalan
dengan itu, untuk isu masuknya jurnalis asing ke Papua, mungkin kini
tiba saat menempuh politik pintu terbuka dengan syarat-syarat tertentu.
Contoh unsur-unsur pemerintah, khususnya Kemlu, bisa membuat program tur
bagi para jurnalis asing secara cermat dengan menyajikan data dan
informasi yang akurat dan cepat. Juga perlu dijelaskan mengenai prosedur
masuk ke Papua, demi menjamin keyamanan kerja para jurnalis asing itu
sendiri.
Intinya
diperlukan penanganan komprehensif dan terkoordinasi secara baik setiap
langkah pemerintah dalam bidang sosial-politik dan ekonomi-budaya di
Papua. Jika beberapa saran itu ditempuh, para Duta Besar kita di
beberapa negara sahabat yang ditempati oleh gerakan kelompok-kelompok
Papua yang didukung beberapa LSM internasional, niscaya bisa secara
tepat dan akurat menangkal semua isu tersebut.
Dengan kata
lain para diplomat kita bisa dibekali dengan data dan informasi yang
matang dan akurat. Sebab diplomasi yang mumpuni hanya bisa terjadi jika
disokong oleh data-data dan orientasi dari dalam negeri yang kuat dan
akurat. Adakah Capres atau Presiden baru mau dan bisa memperhatikan isu
Papua di level internasional itu dengan benar-benar memperbaiki kondisi
internal? Semoga.
(Amiruddin
al-Rahab, Juru Bicara dan Asisten Ahli Kepala Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat - UP4B, kini berdomisili di Jayapura)
0 komentar:
Posting Komentar