Setelah aplikasi WPNCL (West Papua National Coalition For Liberation), yang dipimpin oleh Andy Ayemiseba, untuk memasukan Papua sebagai bagian dari MSG (Melanesia Spearhead Group) beberapa waktu lalu ditolak, WPNCL kembali bergerilya untuk mendapatkan “tiket” masuk ke dalam MSG. “Tiket” ini dianggap penting karena dengan diterimanya Papua Barat dalam MSG, secara otomatis Papua Barat akan diakui oleh lembaga MSG, lembaga yang diakui oleh PBB. Beberapa anggota negara penting MSG, Papua New Guinena, Fiji, Kepulauan Solomon dan Australia menolak aplikasi WPNCL tersebut karena menghormati kedaulatan negara Indonesia, memberikan “tiket” tersebut kepada WPNCL berarti melecehkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Selain itu, penolakan terhadap aplikasi WPNCL tersebut gagal karena negara-negara MSG menganggap WPNCL bukan organisasi representatif masyarakat Papua.
“Gangguan” terhadap kedaulatan Indonesia di wilayah
Pasifik Selatan tersebut seakan membangunkan pemerintah Indonesia. Saya
melihat, Pemerintah Indonesia selama ini terlalu fokus untuk membangun
hubungan dengan negara-negara tetangga di kawasan barat dan utara
Indonesia, yaitu negara-negara ASEAN dan China. Pemerintah lupa bahwa
Indonesia mempunya tetangga di wilayah timur dan selatan juga, yaitu
negara-negara ras Malenesia di Pasifik Selatan, kewajiban membangun
hubungan baik dengan negara-negara tetangga di timur-selatan Indonesia
menjadi sangat penting. Kebijakan Presiden SBY untuk datang ke Fiji
untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 The Pacific
Islands Development Forum (PIDF) menjadi satu tonggak penting, karena
mengawali kebijakan politik yang saya sebut sebagai “Look East Policy”,
dengan adanya kebijakan ini hubungan antara Indonesai dengan tetangga
timur-selatan nya akan memasuki babak baru yang akan lebih baik.
Berbeda dengan negara-negara anggota MSG lainnya,
Vanuatu tetap bersikeras mendukung lolosnya aplikasi WPNCL tersebut.
Beberapa hari lalu, pemerintahan Vanuatu melalui Pastur Alain Nafuki, anggota Dewan Gereja Vanuatu, akan memfasilitasi 3 faksi OPM yaitu WNPCL, NRFPB (Negara
Republik Federal Papua Barat) dan KNPB (Komite Nasional Papua Barat,
yang diklaim juga mewakili FWPC (Free West Papua Campaign) untuk membuat
satu organisasi baru yang akan mewakili seluruh rakyat Papua. Pertanyaannya adalah ada apa dengan Vanuatu? Kenapa mereka mengeluarkan kebijakan luar negeri seperti itu?
Kondisi Politik yang Tidak Menentu di Vanuatu
Vanuatu sebagai negara dengan system pemerintahan
yang bersifat Demokrasi Parlementer dengan Perdana Menteri dipilih oleh
mayoritas electoral college,
pemerintah Vanuatu dapat dijatuhkan bila mendapat mosi tidak percaya
bila mengeluarkan kebijakan yang tidak populis di mata rakyatnya yang
direpresntatifkan dalam perwakilan di Parlementer. Hal itu terjadi
ketika pada pertengahan bulan lalu, Perdana Menteri Vanuatu Moana
Carcasses Kalosil lengser dari jabatannya setelah memimpin hanya selama
13 bulan. Sebagai seorang pemimpin yang berasal dari minoritas
(Polinesia) dibandingkan mayoritas rakyat Vanuatu yang keturunan
Malenesia, Moana telah melakukan banyak hal untuk memikat rakyatnya
dalam usaha untuk melanggengkan kekuasaannya, salah satunya adalah
dengan menggunakan isu Papua sebagai salah satu kebijakan luar
negerinya. Setelah dilengserkan, dan digantikan oleh Joe Natuman sebagai
Perdana Menteri, Moana Carcasses mengorganisir kelompok oposisi
terhadap pemerintahan Joe Natuman. Beberapa hari lalu, atau sekitar
hanya 2 bulan setelah pemerintahan Joe Natuman, Moana Caracasses
menghimpun suara untuk menggulingkan Joe Natuman. Usaha tersebut gagal,
karena Moana yang sebelumnya mengklaim sudah mendapat 29 suara dari 52
anggota parlemen ternyata hanya mendapat 21 suara.
Eksistensi Andy Ayemiseba sebagai tokoh WPNCL di Vanuatu
Andy Ayemiseba pertama kali datang ke Vanuatu tahun
1983 bersama grub band yang dipimpinnya, Black Brother atas undangan
Perdana Menteri Vanuatu yang saat itu, Pastor Walter Lini, dengan Partai
Vanuaaku Pati yang mendukung mereka. Undangan tersebut untuk memperkuat
pendanaan kampanye Walter Lini dengan imbalan, jika Partai Vanuaaku
berhasil menang dalam Pemilu, mereka akan mendukung perjuangan Papua
Mardeka.
Partai Vanuaku Pati sendiri didirikan oleh
orang-orang nasional Vanuatu yang umumnya adalah pastor-pastor yang
belajar di sekolah-sekolah Presbyterian dan Anglikan. Joe Natuman,
Perdana Menteri Vanuatu saat ini pernah menjadi sekretaris Pastor
Walter Lini. Joe Natuman juga merupakan anggota partai ini. Sedangkan,
Pastur Alain Nafuki, yang akan
memfasilitasi pertemuan WPNCL, NRFPB dan KNPB, merupakan Pastur Gereja
Presbyterian yang memilik hubungan erat dengan partai Vanuuaku Pati. Hal
yang menarik adalah keluarnya berita dukungan Pastur Alain Nafuki
bersamaan dengan berita gagalnya usaha penurunan Joe Natuman dari
Perdana Menteri Vanuatu oleh kelompok oposisi yang dipimpin oleh Moana
Carcasses.
Penutup
Tokoh-tokoh poltik Vanuatu selalu menggunakan isu
Papua sebagai “isu yang cantik” dalam aktivitas perpoltikan mereka.
Mantan PM Vanuatu, Sato Kilman pada Mei 2012 dan diterbitkan oleh
Vanuatu Daily Post pada 22 Mei 2012 yang antara lain menyatakan: “Di
Vanutu, masalah Papua telah dipolitisir dan digunakan oleh berbagai
partai politik dan gerakan politik bukan untuk kepentingan orang Papua
tetapi lebih untuk pemilu dan propaganda politik”.
Bila mengibaratkan hubungan Papua dengan Vanuatu
dengan bahasa sederhana saya, Papua seperti seorang “gadis kampus
terpopuler” banyak lelaki yang ingin dilihat mempunyai hubungan istimewa
dengan gadis ini. Terkadang bukan karena si lelaki mencintai si gadis,
tapi si lelaki hanya ingin terlihat “gagah” atau “macho” karena
mempunyai hubungan istimewa dengan “gadis kampus terpopuler” ini.
Mudah-mudahan si “gadis kampus terpopuler” bisa mendapatkan pria yang tepat, yang mencintai si gadis sepenuh hati.
0 komentar:
Posting Komentar